Kamis, 21 Maret 2013

dilema penduduk perbatasan


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Persatuan Indonesia berarti persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia.Persatuan itu didorong untuk mencapai kehidupan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat.
Latar belakang negara Indonesia yang kita cintai ini memang sangat unik. Berbeda dan tidak dimiliki oleh negara lain. Kepulauan Indonesia mengandung beragam identitas masing-masing masyarakat berupa bahasa, budaya, tanah, udara, sumber daya alam yang melimpah serta ideologi masyarakat yang hidup didalamnya.Segala hal yang ada di dalamnya merupakan potensi tiada henti yang patut kita syukuri dan kita kembangkan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan dengan 17.508 pulau, yang letaknya secara geografis sangat strategis, karena berada pada posisi silang, yakni diantara benua Asia dan Australia serta diantara Samudera Hindia dan Pasifik. Indonesia berbatasan langsung di daratan dengan tiga negara yaitu Malaysia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dengan Serawak dan Sabah), propinsi Papua dengan Papua New Guinea dan Nusa Tenggara Timur dengan Timor Lorosae.
Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam, menjaga menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan internasional. Dalam konstitusi suatu negara sering dicantumkan pula penentuan batas wilayah. Jika kita lihat berdasarkan luas wilayahnya, Indonesia adalah Negara yang sangat besar, sehingga keutuhan Negara sangat riskan untuk mengalami penyerobotan wilayah dari Negara lain atau tetangga.
Pemerintah juga harus menaruh kepedulian yang besar terhadap kasus yang mengganggu kedaulatan bangsa yang terjadi di dalam negeri sendiri. Kasus deklarasi kemerdekaan Papua beberapa waktu lalu, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serta gerakan laten yang dilakukan simpatisan Republik Maluku Selatan harus menjadi perhatian penting demi menjaga keutuhan bangsa, Indonesia adalah negara yang besar sehingga keberanian untuk melawan segala bentuk ancaman kepada kedaulatan NKRI di dalam dan luar negeri harus terus dipupuk. Intervensi asing juga harus ditolak agar mereka menghargai bangsa kita sebagai bangsa yang merdeka yang dapat menentukan nasib mereka sendiri.Selain menegakan kedaulatan NKRI, juga menghentian liberalisasi perdagangan pangan, energi serta mewujudkan reformasi agraria.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana keadaan wilayah di daerah perbatasan tersebut?serta apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku penduduk/masyarakat perbatasan?
2.      Apa contoh kasus penduduk di daerah perbatasan?
3.      Bagaimana upaya yang dapat dilakukan pemerintah ataupun dari masyarakat Indonesia khususnya untuk menangani masalah penduduk perbatasan itu sendiri?
4.      Apa fungsi dan peran pancasila terhadap daerah perbatasan khususnya sila “Persatuan Indonesia”?

BAB II
PEMBAHASAN
1.     Keadaan Wilayah Indonesia di Daerah Perbatasan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prilaku Penduduk Perbatasan
Negara Republik Indonesia mempunyai wilayah darat dan laut yang berbatasan dengan 10 negara. Di wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan Negara Malaysia, Papua Nugini dan Republik Demokratik Timor Leste, dengan wilayah pcrbatasan di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua dan Nusa Tenggara Timur. Di wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Pilipina, palau, Australia, Republik Demokratik Timor Leste dan Papua Nugini. Batas di wilayah laut ini terdapat di 92 pulau-pulau terluar yang tersebar di 17 provinsi, mulai dari Nanggroe Aceh Darussalam sampai Papua (Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2004:6,12-16).
Kondisi umum daerah perbatasan dapat dilihat dari aspek Astagatra yaitu :
a.Geografi
Kondisi geografi perbatasan darat Indonesia dengan Malaysia, PNG dan Timor Lorosae umumnya merupakan pegunungan, berbukit dan bergelombang dengan ditutupi hutan tropis yang lebat yang dilalui beberapa sungai dan anak sungai, sehingga akses ke wilayah lainnya relatif masih tertutup. Sedangkan kondisi perbatasan laut RI dengan 10 negara tetangga (India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Republik Palau, PNG, Australia dan Timor Lorosae) yang sebagian besar berada di jalur perdagangan dunia dan perairan lautan dalam dan banyak yang belum terselesaikan batas-batas lautnya.
b. Demografi
Kawasan perbatasan yang luas dengan jumlah penduduk yang relatif kecil dan persebaran tidak merata menyebabkan rentang kendali pemerintah, pengawasan dan pembinaan masyarakat sulit dilakukan.Tingkat kesejahteraan masyarakat daerah perbatasan relatif tertinggal (miskin).Umumnya mereka hidup hanya mengandalkan hasil-hasil dari alam, mata pencarian penduduk setempat umumnya adalah petani ladang berpindah dan penebang kayu.
            c. SDA
Potensi SDA di daerah perbatasan sangat besar meliputi hasil hutan, tambang migas, batubara, ikan dan kekayaan laut lainnya, namun belum dikelola secara optimal. Disisi lain sistem pengamanan daerah perbatasan yang tidak memadai menyebabkan terjadinya pencurian dan penjarahan SDA.
           d.Ideologi
Kurangnya pembinaan terhadap masyarakat dan akses pemerintah baik pusat maupun daerah ke kawasan perbatasan dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain seperti paham komunis dan liberal kapitalis, yang mengancam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari rakyat Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya suatu metoda pembinaan ideologi Pancasila yang terus-menerus, tetapi tidak bersifat indoktrinasi dan yang paling penting adanya keteladanan dari para pemimpin bangsa.
e. Politik
Tatanan politik di daerah perbatasan relatif belum berkembang dan cenderung diwarnai dengan isu-isu primordialisme, dikotomi sipil-TNI, dropping pejabat dan pertentangan antara kepentingan Pemerintah Pusat dan Daerah.Kebijakan pemerintah dalam membangun kawasan perbatasan bersifat sektoral dan seringkali tidak menyentuh lapisan masyarakat di pedalaman.Penyaluran aspirasi masyarakat di daerah perbatasan belum berlangsung seperti yang diharapkan, terbukti belum adanya struktur pemerintahan di kampung-kampung di perbatasan belum ada dan kunjungan pejabat ke pedalaman daerah perbatasan dari Pemerintah Pusat maupun Daerah sangat jarang dilakukan.
f. Ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan pada umumnya masih jauh tertinggal dari perekono-mian negara tetangga, hal ini disebabkan antara lain :
1) Lokasinya relatif terisolir dengan tingkat aksesibilitas rendah.
2) Rendahnya taraf sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal).
3) Langkanya informasi pemerintah tentang ekonomi dan pem-bangunan bagi masyarakat di daerah perbatasan (blank spot).
Masyarakat yang berdomisili di sepanjang perbatasan lebih ber-interaksi dan berorientasi kepada desa terdekat negara tetangga..Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan rasa nasionalisme.
g. Sosial Budaya
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah berbagai bidang kehidupan dan pemerintahan ke arah yang dicita-citakan.Akibat kemajuan tersebut, globalisasi telah melanda dunia, sehingga seluruh tatanan kehidupan yang ada mengalami perubahan-perubahan.Dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, teknologi informasi dan komunikasi terutama internet, dapat mempercepat masuk dan berkembangnya budaya asing ke dalam kehidupan masyarakat di perbatasan. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi disebabkan karena:

1) Faktor eksternal yaitu :
a) Masyarakat daerah perbatasan cenderung lebih cepat terpengaruh oleh budaya asing, dikarenakan intensitas hubungan lebih besar.
b) Kehidupan ekonominya masyarakat daerah perbatasan masih sangat tergantung dengan negara tetangga.
2) Faktor internal yaitu :
a) Secara umum tingkat pen-didikan masyarakat daerah perbatasan relatif rendah (rata-rata tamat SD atau SMP), dengan tingkat kesehatan yang relatif masih rendah.
b) Masyarakat lokal di sepanjang daerah perbatasan, khususnya yang tinggal di pedalaman belum mengetahui bagaimana pola hidup sehat.
c) Masyarakat daerah perbatasan lebih menggantungkan hidup-nya dari alam, kebanyakan dari mereka merupakan petani ladang berpindah.
d) Kerukunan antar etnis di daerah perbatasan belum seperti yang diharapkan. Hal ini tergambar dari adanya beberapa kerusuhan antar etnis yang terjadi di beberapa daerah sekitar perbatasan
e) Masyarakat setempat masih kurang dapat menerima kehadiran masyarakat pendatang dan para pendatang kurang berbaur dengan penduduk lokal.
f) Penegakan hukum di daerah perbatasan kurang memadai antara lain disebabkan kurangnya pos-pos pengawasan di sepanjang perbatasan, frekwensi pelanggaran hukum masih tinggi.
h. Pertahanan dan Keamanan.
Kondisi kekuatan TNI dan Polri di daerah perbatasan saat ini masih kurang memadai, mengingat panjangnya garis perbatasan dan luasnya teritorial kita dengan beberapa negara baik di darat maupun laut yang harus diamankan.Belum lagi keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh TNI dan Polri, seperti kendaraan operasional, pos-pos pengamanan perbatasan untuk mendukung tugas pengamanan daerah perbatasan. Keterbatasan sarana jalan raya sepanjang daerah perbatasan dan kondisi medan semakin mempersulit tugas TNI dan Polri untuk melaksanakan patroli perbatasan.
2.     Studi Kasus
i.           Perbatasan Indonesia – Filipina
Mobilitas penduduk di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina di Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, sebagai contoh sudah terjadi sejak sebelum abad ke 19 (Zaelany dan Augustina, 1995: 32).Mobilitas ini terutama disebabkan karena adanya ikatan kekerabatan penduduk dua wilayah ini yang menurut sejarah pernah disatukan dibawah satu kerajaan, yaitu Kerajaan Kandhar. Kerajaan Kandhar yang merupakan salah satu kerajaan di wilayah Kepulauan Sangihe Talaud pada abad ke 17, dikatakan mempunyai wilayah sampai wilayah Buntuan, Pulau Saranngane dan Kota Davao di Mindanao Selatan yang sekarang merupakan wilayah Negara Filipina (Departemen P dan K Sulut, 1980: 20; Watuseke, 1990: 8). Kerajaan Tabukan (juga di wlayah Kepulauan Sangihe Talaud) juga dikatakan mempunyai wilayah sampai ke Cotabato, juga sekarang termasuk wilayah Negara Filipina (Departemen P dan K Sulut, 1980: 21). Bahkan, salah satu suku bangsa yang dianggap penduduk asli di wilayah Filipina Selatan, yaitu Suku Sangil mempunyai bahasa dan adat istiadat yang sama dengan bahasa dan dialek serta adat istiadat penduduk Tabukan Utara di Kepulauan Sangihe (Aambong, 1991: 9). Dengan demikian, mobilitas penduduk antara wilayah- wilayah tersebut pada saat itu umum teijadi karena masih berada pada satu wilayah kekuasaan (kerajaan), yang mcmudahkan mobilitas orang-orang yang berada dalam wilayah tersebut.Karena itu, banyak ditemukan Orang Sangir yang tinggal di wilayah Filipina Selatan sejak berabad-abad yang lalu, menikah dengan penduduk asli dan berketurunan disana.Setclah kedaulatan kedua negara, Filipina dan Indonesia, kunjungan keluarga (dalam bentuk mobilitas non-permanen) merupakan pergerakan penduduk yang biasa teijadi antara penduduk di wilayah Kepulauan Sangihe Talaud dengan penduduk di pulau-pulau dan Wilayah Midanao Selatan di Filipina.Karena jarak yang relatif jauh terkait dengan sarana transportasi yang tersedia, migrasi ulang- alik (commuting) dalam satu hari tidak mungkin dilakukan.Adanya hubur.gan kekerabatan dan kujungan keluarga antara penduduk dua wilayah ini, meneyebabkan timbulnya hubungan perdagangan (ekonomi) dan juga pemilikan atau pengusaan lahan pertanian di wilayah negara tetangga.Lokasi Kepulauan Sangihe Talaud lcbih dekat dengan wilayah Filipina Selatan dibandingkan ke Wilayah Utara Pulau Sulawesi dan Pusat Pemerintahan dan ekonomi di Kota Manado.Untuk pergi ke Sulawesi Utara pada masa ialu masih sangat sulit.Kondisi arus laut yang kencang, ombak besar serta adanya pusaran-pusaran air berbahaya merupakan hambatan yang dijumpai dalam peijalanan tersebut.Dengan demikian, hubungan perdagangan lebih mudah dilakukan ke wilayah Filipina Selatan dibandingkan ke Sulawesi Utara, disamping didukung pula oleh adanya hubungan kekerabatan j'ang ada.Biasanya penduduk dari wilayah perbatasan di Kepualauan Sangihe Talaud membawa kopra untuk dijual di wilayah Filipina karena harganya disana lebih mahal.Mereka kembali ke Indonesia dengan membawa 9 bahan kebutuhan pokok, seperti bahan makanan. Untuk penduduk pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan Indonesia seperti Pulau Marore, Kawio dan Kawaluso, juga lebih mudah untuk pergi ke wilayah Filipina Selatan daripada ke Pulau Sangir Besar, yang merupakan daerah utama penghasi bahan makanan di wilayah Kepulauan Sangihe Talaud (Aambong, 1991: 8).
Kondisi wilayah Kepulauan Sangihe Talaud yang terbatas sumberdaya alamnya (tanah pertanian) juga menyebabkan penduduknya yang pergi ke wilayah Filipina Selatan untuk bekcrja dan bahkan kemudian membuka tanah pertanian disana, seperti kebun kelapa.Keadaan ini dimungkinkan selain karena masih jarangnya penduduk di wilayah tersebut juga karena masih lemahnya kontrol negara terhadap mobilitas penduduk tradisional diwilayah perbatasan.Akibatnya terjadi arus mobilitas penduduk non-permanen yang teratur.Penduduk wilayah perbatasan di Indonesia dalam waktu-waktu tertentu pergi dan menetap di wilayah Filipina Selatan dalam jangka waktu singkat (kurang dari 6 bulan) untuk menengok dan mengolah kebunnya.Pada saat panen kelapa merekapergi dan membuat kopra disana dan kembali ke Indonesia membawa barang-barang kebutuhan hidup.Pembukaan kebun di wilayah cngara tetangga ini juga melahirkan pola mobilitas permanen, dimana penduduk dari wilayah perbatasan di Indonesia kemudian menetap di wilayah Filipina Selatan untuk mcmpertahankan penguasaan dan pemilikan atas tanah dan kebun yang sudah dibukanya.Mobilitas penduduk secara tradisional ini kemudian berkembang menjadi mobilitas dengan alasan alasan-alasan politik.Sebagai contoh, selama jaman kolonial Belanda, banyak aktivis organisasi politik di Indonesia yang melarikan diri dari Kepulauan Sangihe -Talaud menuju Pulau Mindanao untuk menghindari penangkapan oleh Pcmcrintah Belanda (Kaurow, 1990).Keadaan ini menyebabkan banyaknya penduduk Indonesia, terutama Suku Sangir yang menetap di Wilayah Filipina Selatan. Sebelum kemerdekaan kedua negara, Indonesia dan Filipina, keberadaan orang-orang yang berasal dari wilayah Indonesia di Wilayah Filipina Selatan tidak menjadi persoalan karena pemerintah kolonial tidak menaruh perhatian dan tidak merasa berkepentingan dengan pola mobilitas penduduk tradisional ini.
Setelah kemerdekaan Indonesia dan Filipina, menjadi masalah karena masing-masing negara ingin menegakkan kedaulatan wilayah negaranya masing-masing dan mobilitas penduduk anatar kedua negara ini di wilayah perbatasan diatur dalam peijanjian Border Crossing (Border Crossing Agreement/BCA) pada tahun 1956, yang mengatur mobilitas penduduk untuk tujuan kunjungan keluarga, darmawisata dan berdagang. Dengan adanya BCA ini, penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah yang termasuk dalam 4wilayah perbatasan* dapat termasuk ke 'wilayah perbatasan' di Filipina Selatan dengan menggunakan surat jalan dari kepala desa yang merupakan pas lintas batas (PLB), kemudian melapor ke camat administratif BCA yang sudah ditentukan, di wilayah Indonesia dan Filipina. Demikian pula dengan penduduk wilayah Filipina Selatan yang berkunjung ke Indonesia.Batas waktu untuk tinggal di negara tetangga ini adalah selama satu bulan (Raharto, 1955).
Berdasarkan perjanjian BCA tahun 1956, penduduk Indonesia yang datang ke wilayah Filipina Selatan sebelum tahun 1956 dapat dianggap sebagai pendatang tidak sah dan sewaktu-waktu dapat dikembalikan ke wilayah Indonesia CTan-Cullamar, 1987: 99-139), dan pada tahun 1963-1965 pernah dilakukan pemulangan (repatriasi) awal warga Indonensia yang tinggal 'secara tidak sah' di wilayah Filipina Selatan, ke Sulawesi Utara. Tetapi karena proses rcsctlement mereka di Indonesia tidak beijalan lancar, banyak diantara mereka pada tahun 1967 kembali lagi ke wilayah Filipina Selatan.
Pada awal tahun 1980-an, mulai teijadi arus migrasi kembali warga Indonesia yang tinggal di wilayah Filipina Selatan, kc Indoensia secara spontan discbabkan karena dorongan kcadaan ekonomi dan keamanan di Filipina yang bertambah buruk.Disamping itu, setelah kemerdekaan Indonesia dan Filipina, keberadaan warga Indoensia di wilayah negara Filipina dipertanyakan dan hak kepemilikan dan penguasaan atas lahan pertanian juga dibatasi.Sebaliknya, kcadaan di Indonesia mulai stabil dan ekonominya juga membaik.Mereka yang kembali ini tidak seluruhnya kembali menetap di Kepulauan Sangihe Talaud, tetapi ada yang memilih pindah ke Pulau Halmahera karena tanah pertanian disana masih cukup luas, disamping keadan alam yang tidak jauh berbeda dengan daerah asal mereka di Kepulauan Sangihe Talaud (Aswatini dkk, 1994).
Sampai saat ini masih ada ribuan warga Indonesia yang tinggal di wilayah Filipina Selatan, b3ik yang memang mempunyai keinginan untuk kembali ke Indoensia maupun yang ingin menetap di Filipina karena sudah menikah dengan penduduk asli disana.Mobilitas penduduk antara Kepulauan Sangihe Talaud dengan Pulau-pulau di Wilayah Filipina Selatan juga masih tetjadi meskipuh tidak untnk tujuan menetap.Ikatan kekerabatan yang terjadi antara pcnduduk kedua wilayah menyebabkan adanva kunjungan keluarga yang kadang-kadang juga digunakan untuk berdagang.Selain dari itu ada juga penduduk yang sudah menetap kembali di Indonesia tetapi masih mempunyai dusun (kebun) di wilayah Filipina (Raharto dkk, 1995).

ii.        Perbatasan Indonesia - Malaysia
Mobilitas penduduk juga terjadi di wilayah perbatasan Indonesia Malaysia di Kalimantan Timur.Latar belakang penduduk di wilayah perbatasan Indonesia - Malaysia di Kalimantan Timur menunjukkan adanya hubungan kekerabatan yang erat antara penduduk di wilayah perbatasan Indonesia dan penduduk di wilayah perbatasan Malaysia. Pola hubungan ini dapat dikelompokkan menjadi dua (Djohan dan Yogaswara. 1889) yaitu:
1.                  Hubungan yang sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka, sebelum ditentukannya batas negara, Malaysia dan Indonesia. Hubungan ini didasarkan pada garis (satu) keturunan atau hak ulayat tanab/lahan.
2.                  Hubungan yang terjadi karena adanya mobilitas penduduk dari Wilayah Indonesia, yang berasal dari luar wilayah perbatasan di kalimantan Timur, ke Negara Bagian Sabah untuk meneari pekerjaan, seperti pendatang Suku Bugis dan Makassar dari Sulawesi Selatan dan pendatang dari bebcrapa wilayah di provinsi Nusa Tenggara timur.
Pada pola hubungan pertama, misalnya dapat dilihat dalam kehidupan Suku Dayak Kayan dan Suku Tidung yang tinggal di wilayah perbatasan, baik di wilayah negara Indonesia maupun di wilayah negara Malaysia. Pola kehidupan tradisional bertani berpindah-pindah memisahkan kelompok-kelompok masyarakat secara geografis tetapi tidak menghilangkan ikatan kekerabatan yang teijalin diantara mereka serta hak atas tanah ulayat.Karena itu, sampai saat ini masih ditemukan penduduk di "wilayah Kalimantan Timur, Indonesia, yang memiliki hak ulayat di wilayah Malaysia dan sebaliknya. Karena itu setelah kemerdekaan Indonesia dan Malaysia, meskipun mereka terpisah oleh batas negara, hubungan kekerabatan dan pemilikan hak ulayat tanah yang ada menyebabkan mereka masih berhubungan, juga dalam bentuk kunjungan keluarga untuk keperluan adat, yang berkembang menjadi hubungan perdagangan dan pekerjaan. Selain karena adanya hubungan kekerabatan antara suku-suku asli Kalimantan dengan penduduk Malaysia terutama di wilayah Negara Bagian yang terletak di daratan Pulau Kalimantan, ada pula mobilitas yang dilakukan ke Malaysia sebagai respon terhadap kesulitan ekonomi serta pemberontakan yang teijadi di Indonesia (Raharto dkk, 1998; Siagian 1995).
Kasus kedua merupakan fenomena yang relatif baru, dengan masuknya pendatang dari wilayah lain di Indonesia ke wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Timur, khususnyadi Kabupaten Bulungan dan Nunukan.Ada dua suku bangsa yang dominan dalam mobilitas ini yaitu Suku Bugis (Sulawesi Selatan) dan Orang Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Orang Bugis sudah lebih dahulu datang dan menetap di wilayah perbatasan, baik di wilayah Indonesia maupun Malaysia, sedangkan orang Flores diperkirakan bam masuk ke wilayah perbatasan di Kalimantan Timur ini setelah tahun 1940, yang datang pertama karena dibawa Pemerintah Kolonial Belanda sebagai pekeija di pertambangan minyak. Selain dari itu juga ditemukan Orang Toraja, yang sekarang ini juga merupakan suku dominan pencari kerja ke Malaysia, melalui wilayah perbatasan di Kalimantan Timur ini.Dari masuknya dua kelompok suku bangsa ini ke wilayah perbatasan di Kalimantan Timur, terjadi pola hubungan masyarakat di Indonesia dan Malaysia yang juga seiring dengan perkembangan pola mobilitas penduduknya. Pola hubungan tersebut adalah (Djohan dan Yogaswara, 1998: 34-36):
1.Perkawinan antara suku Bugis yang tinggal di wilayah perbatasan Indonesia dan di daerah Asal di Sulawesi Selatan dengan Suku Bugis yang sudah tingga di wilayah Malaysia. Adanya hubungan ini mcngukuhkan pola mobilitas penduduk yang sudah terjadi di wilayah perbatasan.
2.Pekerjaan, dimana pendatang dari NTT yang bekerja di wilayah perbatasan kemudian memberikan informasi kepada keluarga yang masih tinggal di NTT, sehingga mereka kemudian datang untuk bekerja terutama di perkebunan di wilayah Negara Malaysia. Pola mobilitas untuk alasan pekerjaan ini sampai sekarang masih terjadi, dimana wilayah perbatasan Indonesia, khususnya Kota Nunukan, merupakan daerah transit sebelum mereka menyebrang untuk bekerja di wilayah Malaysia, khususnya negara Bagian Sabah.
3. Perdagangan, umumnya dilakukan oleh Orang Bugis, dimana dari Indoensia, wilayah Kabupaten Nunukan, khususnya PulauNunukan dan Pulau Sebatik, mereka membawa hasil-hasil pertanian dan perikanan untuk dijual di wilayah Malaysia, terutama di Kota Tawau. Sebaliknya dari Kota Tawau mereka membawa baiang-barang kebutuhan hidup sehari-hari seperti beras, sabun, minyak gula dan lain-lain.Mobilitas ini umumnya merupakan mobilitas uJang-alik, karena jarak yang cukup dekat dari Kota Nunukan dan Pulau Sebatik ke Kota Tawau.
Warga Indonesia baik penduduk asli wilayah perbatasan maupun pendatang dari wilayah lain yang sudah menetap di wilayah perbatasan Indonesia - Malaysia di Kalimantan Timur juga banyak yang sudah bermigrasi, menetap dan menjadi penduduk warga negara Malaysia, terutama di wilayah Negara Bagian Sabah. Sebagai contoh, wilayah Negara Bagian Sabah Malaysia sudah menjadi tujuan migrasi penduduk Indonesia terutama yang berasal dari Sulawesi Selatan, sejak pertengahan abad ke 19.Sebelum tahun 1967, warga Indonesia yang menetap di wilayah Sabah diberi kcscmpatan untuk memilih kewarganegaraan.Mereka yang mcmilih menjadi warganegara Malaysia dikategorikan sebagai migran permanen.
Setelah ada perjanjian lintas batas pada tahun 1967 yang diperbaharui pada tahun 1984, arus mobilitas penduduk di wilayah perbatasan Indonesia - Malaysia di Kalimantan Timur mulai tercatat, termasuk juga arus mobilitas tenaga keija (Bandiyono, 1998: 77). Perjanjian lintas batas ini intinya adalah untuk mengatur, dengan memberi kemudahan, mobilitas penduduk yang tinggal di wilayah perbatasan yang sudah ditentukan di kedua negara, yang akan saling berkunjung, mengingat latar belakan hubungan kekerabatan yang teijalin diantara mereka. Berdasarkan peijanjian ini, penduduk tetap wilayah perbatasan tidak memerlukan pasport dan visa untuk berkunjung ke negara tetangga, tetapi cukup menggunakan Pas Lintas batas (PLB), sebagai pengganti pasport.Penduduk yang menetap di luar wilayah perbatasan yang sudah ditentukan tidak dapat menggunakan PLB, tetapi tetap menggunakan pasport. PLB diberikan untuk keperluan kunjungan keluarga, kegiatan sosial, keperluan keagamaan, usaha, tugas pemcrintah dan keperluan lain yang sudah disetujui kedua negara, tetapi tidak dapat digunakan untuk kepentingan mencari pekerjaan atau bekeija (Setiawandan Yogaswara, 1998: 92-93).
Wilayah perbatasan seperti ditunjukkan oleh kondisi di Kota Nunukan, juga menjadi daerah transit bagi tenaga kerja dari berbagai daerah di Indonesia (Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Selawesi Tengah) yang ingin menyebrang ke wilayah Malaysia untuk bekerja (Bandiyono, 1998: tabel 3.2). Calon tenaga kerja ini juga ada yang memanfaatkan fasilitas keimigrasian di wilayah perbatasan untuk mengurus kelengkapan administrasi utnuk bekerja di luar negeri.Tetapi ada pula yang menyebrang tanpa memenuhi persyaratan administrasi dan menjadi tenaga kerja ilegal (undocumented), selain juga ada yang menggunakan pas lintas batas yang sebenarnya tidak dapat dipergunakan sebagai persyaratan untuk bekerja di Malaysia. Akibatnya, selain menjadi daerah transit, Kota Nunukan juga menjadi daerah tujuan utama pengembalian tenaga kerja Indonesia (TKI) illegal dari Malaysia yang terjaring razia pendatang haram di Malaysia.
Di Kalimantan Barat misalnya yang lansung berbatasan dengan  Serawak Malaysia Timur membentang sepanjang 966 kilometer, mempunyai luas sekitar 2,1 juta hektar  atau hampir seluas Provinsi Nusa Tenggara Barat atau Provinsi Sulawesi Utara. Secara administratif meliputi 5 wilayah Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu dengan 15 Kecamatan dan 98 Desa.
Kondisi geografis dan Topografi wilayah perbatasan Kalimantan Barat yang masih terisolir, karena keterbatasan prasarana jalan, transportasi darat, sungai serta fasilitas publik lainnya.Kondisi ini berdampak pada kondisi kesejahteraan sosial, ekonomi, pendidikan dan skill masyarakat daerah perbatasan yang masih tertinggal dibanding dengan masyarakat daerah Serawak.
Penduduk dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung ke Serawak, karena akses yang mudah serta ketersediaannya fasilitas yang lebih baik. Kawasan perbatasan terdapat sekitar 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalimantan Barat dengan 32 kampung di Serawak,  lebih 60% penduduk masyarakat Puring Kencana juga memiliki KTP Malaysia dan termasuk Surat Peranak (Akte Kelahiran), hal ini dikarenakan mereka lebih senang mendapatkan akte kelahiran dari Pemerintah Malaysia.
Di bidang pendidikan, usia anak-anak yang bersekolah, lebih memilih sekolah di Malaysia dengan perbandingan dalam tahun ajaran 2008 hanya 13 anak yang masuk SD di Puring Kencana, sedangkan 83 anak lainnya memilih sekolah di Malaysia. Alat ukur (mata uang) yang digunakan lebih dominan ringgit dari pada rupiah.
Realitas yang memprihatinkan ini disebabkan kondisi daerah yang pembangunannya terbelakang dan terisolir (indikator daerah tertinggal dan aksebilitas rendah).Penduduk dalam melakukan aktifitas sosial ekonomi cenderung ke Serawak, hal ini karena akses yang mudah serta ketersediaan fasilitas yang lebih baik (menjadi hinterland Serawak).Ketergantungan perekonomian masyarakat perbatasan hampir semua barang dan jasa, tempat menjual hasil bumi masyarakat di wilayah Malaysia.
Kesenjangan kehidupan yang tejadi di daerah perbatasan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh ketimpangan infrastruktur dan fasilitas umum yang disediakan oleh pemerintah RI, contohnya seperti harga kebutuhan pokok yang sangat mahal, Masyarakat lebih memilih masuk ke wilayah Malaysia untuk memenuhi kebutuhannya, bisa kita bayangkan harga semen 1 juta rupiah per sak, bensin 25 ribu rupiah per liter, sementara di negara tetangga, lebih murah, di Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, warga bergantung pada pasokan listrik dari Malaysia. Jalan aspal di kawasan itu juga dibangun kontraktor Malaysia.
Karena ketimpangan inilah masyarakat  di perbatasan Kalimantan rela menyerahkan wilayahnya masuk ke negara tetangga. Mereka telah memindahkan patok-patok perbatasan ke wilayah negara tetangga, dan ini juga yang menjadi motivasi bagi masyarakt di perbatsan untuk  berganti status kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia.
Yang lebih ironis lagi masyarakat di perbatasan Kalimantan Timur  tidak menmgenali sendiri president mereka , mereka lebih kenal dengan PM mentri Malaysia.
3.     Upaya yang Dapat Dilakukan Pemerintah ataupun dari Masyarakat Indonesia Khususnya untuk Menangani Masalah Penduduk Perbatasan
Kedaulatan negara menunjukkan integritas dan martabat suatu bangsa dan harus dijaga keutuhannya.Negara tidak mampu menjaga keda-ulatan setiap jengkal wilayahnya, termasuk daerah perbatasan menggambarkan lemahnya keutuhan dan kedaulatan negara tersebut.Kedaulatan negara menurut pengertian dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 yaitu kedaulatan di tangan rakyat dengan berdasarkan kepada kelima butir Pancasila.Kedaulatan NKRI yang dijabarkan dalam suatu konsep Wawasan Nusantara merupakan suatu konsep kesatuan wilayah yang mencakup darat, laut (termasuk dasar laut dan daratan di bawahnya) dan udara.Kedaulatan tersebut juga meliputi penguasaan dan kewenangan atas pengelolaan SDA dan pengaturan alur laut ALKI. Sejak diakuinya konsep Wawasan Nusantara oleh dunia internasional dalam Konvensi Laut PBB tahun 1982 (yang telah berlaku sejak 16 Nopember 1994) telah memperluas kewenangan Indonesia tidak saja terhadap wilayah kedaulatan-nya atas perairan Nusantara dan Laut Wilayah yang mengelilinginya, tetapi juga hak-hak di luar perairan Nusantara dan di dasar laut serta tanah di bawahnya di landas kontinen Indonesia (Zona Ekonomi Ekslusif) sejauh 200 mil.
§  Konsepsi Pengembangan Strategi Pengamanan
Konsepsi Pengembangan strategi pengamanan daerah perbatasan diarahkan untuk membuka, mengem-bangkan dan mempercepat pem-bangunan daerah di kawasan tersebut serta menyerasikan laju pertumbuhan daerah perbatasan seperti daerah lainnya yang lebih dahulu berkem-bang.Dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah masing-masing sehingga terwujud pola pem-bangunan yang merupakan perwujudan Wawasan Nusantara, sehingga memperoleh dukungan dan kontribusi dari segenap komponen masyarakat dalam keuletan dan ketangguhan di seluruh wilayah perbatasan.
Secara garis besar terdapat dua hal penting yang harus dilakukan yaitu pembangunan daerah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) untuk mengangkat taraf kehidupan masyarakat setempat dan pendekatan keamanan (security approach) yang diperlukan guna terciptanya stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan sehingga memungkinkan terwujudnya keserasian hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara tetangga di sepanjang daerah perbatasan. Penerapan kedua pendekatan tersebut melandasi tujuan program-program pembangunan di wilayah perbatasan secara terintegrasi dan berkelanjutan.
a.    Arah Pembangunan. Arah pembangunan daerah perbatasan diprioritaskan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh pelosok daerah perbatasan guna meningkatkan kesejahteraan, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat di wilayah perbatasan serta pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu sesuai semangat otonomi daerah yang dinamis, serasi dan bertanggung jawab sehingga pada gilirannya dapat memberikan kontribusi untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Pembangunan daerah perbatasan yang diarahkan untuk mengembang-kan tata ruang daerah perbatasan menjadi kawasan strategis dan potensial dalam rangka penataan tata ruang wilayah dengan memperhatikan pengamanan daerah perbatasan guna menjaga tetap tegaknya keutuhan dan kedaulatan NKRI.
b.   Tujuan Pembangunan Daerah Perbatasan. Tujuan jangka panjang pembangunan daerah perbatasan yaitu untuk mewujudkan kehidupan masyarakat daerah perbatasan yang sejahtera dan berkeadilan dalam keharmonisan hubungan dalam segala aspek kehidupan.

§  Kebijakan Pengamanan
Berdasarkan prioritas pembangunan daerah perbatasan sesuai dengan pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan kebijakan pengamanan daerah perbatasan yaitu : “Mengembangkan strategi pengamanan daerah perbatasan untuk memper-tahankan tetap tegaknya keutuhan dan kedaulatan negara, melalui kesamaan visi dan misi bahwa daerah perbatasan merupakan bagian integral dari NKRI dengan melakukan penanganan yang komprehensif dan terintegrasi serta terselenggaranya stabilitas bidang pertahanan dan keamanan serta kesejahteraan masyarakat”.

§  Strategi Pengamanan
Mengingat kompleksnya permasalahan yang terjadi di daerah perbatasan, maka untuk melaksanakan kebijaksana-an tersebut, disusun beberapa strategi pengamanan daerah perbatasan guna penegakan kedaulatan negara dalam rangka pertahanan negara yaitu :
a. Mewujudkan pengamanan daerah perbatasan negara yang meliputi pengamanan terhadap SDA, kejahatan trans-nasional (penyelundupan senjata, narkotika dan masuknya teroris) serta konflik antar etnis.
b. Menjamin tetap tegaknya dan utuhnya wilayah kedaulatan negara. Hal ini mengandung arti bahwa ancaman terhadap suatu wilayah di daerah perbatasan merupakan ancaman terhadap kedaulatan NKRI.
c. Mewujudkan terselenggaranya pertahananan negara di daerah perbatasan. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2002 bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional.
§  Upaya Pengamanan
Berdasarkan kebijakan dan strategi yang telah disusun bagi pengem-bangan pengamanan daerah perbatasan guna penegakan kedaulatan negara dalam rangka pertahanan negara dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :

a.Pengamanan daerah perbatasan (pengamanan terhadap SDA, kejahatan trans-nasional dan konflik antar etnis).
1) Meningkatkan pengawasan terhadap pencurian SDA seperti pencurian kayu, pencurian ikan dan kekayaan laut, eksplorasi energi dan mineral secara ilegal.
2) Meningkatkan koordinasi antar instansi pemerintah yang terkait dalam pengamanan daerah perbatasan seperti TNI, Polri, Kantor Imigrasi dan Departemen Kehakiman, Departemen Kehutan-an, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pertam-bangan dan Energi, Departemen Pertanian dan Pemerintah Daerah.
3) Meningkatkan kualitas peng-awasan di pos-pos lintas batas terhadap lalu lintas barang dan orang. Peningkatan pengawasan meliputi penambahan pos-pos pengawasan dan personil di pos lintas batas.
4) Meningkatkan dan membangun jaringan intelijen secara terpadu di daerah perbatasan untuk mengantisipasi kemungkinanpenyelundupan barang, senjata api dan munisi serta narkoba dan penyusupan teroris dan adanya oknum yang dapat memicu konflik antar etnis.
5) Meningkatkan BINWIL, BINTER dan BINMAS di daerah perbatasan.
6) Membangun jalan inspeksi di sepanjang perbatasan darat dan menambah frekwensi patroli perbatasan di darat maupun laut.
7) Menambah dan meningkatkan kuantitas dan kualitas alat peralatan pengamanan di daerah perbatasan, seperti radar, navigasi, alkom, ken-daraan patroli dan alut sista.
8) Mengalokasikan anggaran pengamanan daerah perbatasan secara terpadu (lintas pendana-an dan lintas sektoral).
9) Membangun sarana jalan dan prasarana transportasi, tele-komunikasi sepanjang perbatasan untuk membuka keterisolasian perkampungan di daerah perbatasan.
10)Melakukan survei dan pemetaan secara terpadu bagi pengaman-an terhadap SDA, jalur kejahatan trans-nasional dan area rawan konflik etnis di daerah perbatasan sebagai integrated data base pengamanan perbatasan negara.
11)Menciptakan iklim yang kondusif masyarakat perbatasan dalam pengamanan daerah perbatasan sekaligus sebagai daya tarik bagi kegiatan investasi di daerah perbatasan.
12)Memperbaiki dan memper-baharui peraturan dan perundangan yang terkait dengan pengamanan daerah perbatasan, baik yang menyangkut pencurian, penyelun-dupan dan penyusupan serta kejahatan transnasional lainnya demi terwujudnya penegakan dan kepastian hukum di daerah perbatasan.
13)Merealisasikan terbentuknya suatu badan/lembaga pengaman-an daerah perbatasan secara terpadu, dalam rangka meningkatkan pengawasan dan pengendalian segala bentuk kejahatan dan konflik yang mungkin terjadi di daerah perbatasan.

b.Menjamin tetap tegaknya dan utuhnya wilayah kedaulatan negara.
1) Melakukan perundingan dengan negara tetangga dalam upaya mempercepat proses tercapai-nya kesepakatan penyelesaian garis batas antar negara baik darat maupun laut .
2) Meningkatkan kapasitas diplomasi para penyelenggara negara, baik legislatif maupun eksekutif dalam fora regional dan internasional, khususnya yang menyangkut penetuan garis batas dan kerjasama pengaman-an batas negara.
3) Membangun dan menambah patok-patok batas legal dan permanen di sepanjang per-batasan darat dan mercusuar di pulau-pulau terluar RI.
4) Melakukan standarisasi pembangunan pos lintas batas (custom, immigration and quarantine).
5) Menyamakan visi dan misi tentang daerah perbatasan antara pengambil keputusan di tingkat Pemerintah Pusat maupun Daerah.
6) Meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat daerah perbatasan dalam rangka membina persatu-an dan kesatuan bangsa serta menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.

c. Mewujudkan terselenggaranya Pertahanan Negara di daerah perbatasan.
1) Meningkatkan kemampuan komponen pertahanan negara yang efektif (SDM, alat peralatan dan sumber daya nasional lainnya).
2) Menata ruang pertahanan negara, dengan pendekatan propinsi, khususnya propinsi dengan titik rawan terhadap ancaman tertentu (trouble spot area), sebagai basis pertahanan.
3) Memberdayakan Kabupaten dan Kota untuk turut melak-sanakan fungsi deteksi dini, khususnya bagi daerah yang rawan ancaman berupa infiltrasi, pelanggaran lintas batas, pencurian SDA sampai dengan ancaman kedaulatan negara.
4) Memberdayakan daerah dalam mengemban fungsi BINWIL dan/atau BINTER dan BINMAS secara efektif dalam rangka membangun kesadaran bela negara masyarakat daerah perbatasan melalui kegiatan :
a) Bimbingan dan penyuluhan tentang penting peran masyarakat setempat sebagai komponen pendukung dalam pertahanan negara di daerahnya.
b) Membangun jaringan infor-masi tentang NKRI dan pembangunan bagi masya-rakat setempat yang mampu menumbuh-kembangkan rasa nasionalisme kebang-saan dan kesadaran bela negara melalui peran media cetak, media elektronik dan internet.
c) Pengamanan swadaya masya-rakat setempat di lingkungan-nya dengan membangun pos-pos keamanan lingkungan untuk menciptakan rasa aman sekaligus melakukan pengawasan terhadap kemung-kinan masuknya orang asing secara ilegal di sepanjang daerah perbatasan.
d) Menambah frekwensi kun-jungan para pejabat ke daerah perbatasan sebagai wujud kepedulian pemerintah untuk menambah kepercaya-an diri masyarakat setempat sekaligus menumbuhkan rasa kebanggaan sebagai bagian dari NKRI.
e) Mengalokasikan anggaran khusus untuk membangun kekuatan Pertahanan Negara di daerah perbatasan.

§  Subyek Pengamanan
Untuk mewujudkan pengamanan daerah perbatasan dalam rangka penegakkan kedaulatan negara, yang berperan sebagai subyek adalah :
a. Supra Struktur, yang terdiri dari MPR, DPR dan Pemerintah (Dephan, TNI dan Polri, Depdagri, Deplu, Pemerintah Daerah, Departemen Kehakiman, Dephut, DKP, Depkimpraswil dan Bakosu-rtanal) yang berperan sebagai subyek dalam implementasi kebijakan pengamanan daerah perbatasan, terutama pembuatan peraturan dan perundang-undangan dan pengambilan kebijakan program pemerintah.
b. Infra Struktur, meliputi para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh partai politik dan LSM yang berbaur dengan masyarakat yang turut berperan dalam pengawasan, pengendalian dan pelaksanaan kebijakan pengamanan daerah perbatasan.
c. Sub Struktur, terdiri dari segenap lapisan masyarakat yang terlibat langsung dalam melaksanakan aturan yang telah ditetapkan dalam upaya pengamanan daerah perbatasan.

§  Obyek Pengamanan
Sebagai sasaran dalam upaya pengamanan daerah perbatasan yaitu:
a. Daerah perbatasan, yaitu propinsi atau daerah yang berbatasan angsung dengan beberapa negara tetangga baik di darat maupun laut yaitu Aceh, Sumatera Utara, Batam, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Papua dan NTT.
b. Masyarakat setempat, yang berdomisili dekat atau sepanjang daerah perbatasan.
c. SDA, segenap potensi SDA yang ada di wilayah perbatasan RI yang jumlahnya cukup besar namun belum dikelola secara optimal sehingga belum dapat mengangkat tingkat kesejahteraan daerah dan masyarakat setempat.
d. Sarana dan Prasarana, belum memadai sehingga daerah perbatasan relatif terisolir dan akses ke wilayah kecamatan terdekat sulit dijangkau dan mahal, lebih mudah melakukan interaksi ke negara tetangga karena lebih mudah dan murah, akses tersedia dan sarana jalan, transportasi dan telekomunikasi cukup memadai

§  Metode Pengamanan
Metoda yang digunakan dalam raka pengamanan daerah perbatasan yaitu dengan melakukan :
a. Sosialisasi, yaitu memberikan informasi tentang pentingnya pengamanan daerah perbatasan guna penegakan kedaulatan negara. Gangguan terhadap satu daerah di perbatasan negara berarti ancaman terhadap keda-ulatan negara.Sosialisasi peng-amanan daerah perbatasan termasuk juga pengamanan terhadap SDA dan keberlang-sungan pembangunan daerah dan masyarakat daerah perbatasan.
b. Deregulasi, yaitu penataan atau perumusan kembali produk peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembangunan dan pengamanan daerah perbatasan, agar diperoleh seluruh implemen-tasi pembangunan dan pengaman-an daerah perbatasan dapat dilakukan secara komprehensif dan integral, lintas peran dan pendanaan. Dengan dilakukannya deregulasi terhadap seluruh produk hukum yang berkaitan dengan daerah perbatasan, maka pembangunan dan pengamanan daerah perbatasan tidak lagi dilaksanakan secara parsial, yang hanya melihat permasalahan daerah perbatasan berdasarkan kepentingan sektoral.
c. Pendekatan Kesejahteraan dan Keamanan (Prosperity dan Security Approach), yaitu suatu paradigma baru pembangunan daerah perbatasan yang harus dilakukan melalui pendekatan kesejahteraan rakyat dan keaman-an secara bersama-sama. Hal ini berarti penanganan daerah perbatasan tidak bisa lagi dilaksanakan hanya dengan mengedepankan faktor keamanan saja, tetapi harus dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah perbatasan dengan tetap melakukan penegakan hukum.
d. Partisipasi, yaitu pengamanan daerah perbatasan harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk peran swasta. Partisipasi masyarakat daerah perbatasan dapat diwujudkan melalui peran aktif masyarakat dalam menjaga kondisi yang aman di tempat tinggalnya, ikut serta secara aktif melakukan pengawasan terhadap pelanggaran hukum yang terjadi di daerahnya, misalnya illegal logging, pergeseran patok dan lain-lain.
e. Diplomasi, peran yang dilak-sanakan oleh para penyelenggara negara dalam memberikan infor-masi yang benar dan mampu menyakinkan pihak asing dalam fora regional maupun interna-sional, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan garis batas negara dan kedaulatan NKRI.
f. Penegakan Hukum (Law Enforcement), mengimplementasikan aturan-aturan hukum positif baik undang-undang maupun per-aturan daerah secara konsisten dan konsekuen melalui pemberian sanksi hukum yang tegas demi tegaknya supremasi hukum terhadap pelanggaran atau kejahatan di daerah perbatasan. Dengan penegakan hukum yang konsisten, maka dalam pengaman-an daerah perbatasan mampu memberikan kontribusi positf bagi penegakan kedaulatan dan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan di kawasan perbatasan NKRI.

4.     Fungsi dan Peran Pancasila Terhadap Daerah Perbatasan Khususnya Sila “Persatuan Indonesia”
Dalam penentuan berbagai kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan agar
implementasi tidak menimbulkan keraguan dan konsisten pada tetap utuhnya NKRI,
harus dilandasi nilai-nilai luhur Pancasila sebagai landasan Idiil. Sila  - sila dalam
Pancasila terutama sila ke  3  “Persatuan Indonesia” dan sila    ke  5 menyebutkan
“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”    jelas terkandung makna, agar
dalam  mengelola  seluruh  wilayah  Indonesia,  baik  di  perkotaan  maupun  daerah
terpencil  dalam  hal  ini  di  wilayah  perbatasan,  harus  dapat  dirasakan  adanya
keadilan dan kesejahteraan, sehingga tercapai rasa persatuan dan kesatuan dalam
bingkai NKRI.
Disisi  lain  penanganan  wilayah  perbatasan  maritim  antar  negara  perlu
menerapkan konsep damai, perang dan pertahanan negara. Bangsa Indonesia cinta
damai   akan   tetapi   lebih   cinta   kemerdekaan   dan   kedaulatan.
Untuk mempertahankan  kemerdekaan  dan  kedaulatan  tersebut,  bangsa  Indonesia  rela mengorbankan  jiwa  dan  raganya.    Bagi  bangsa  Indonesia  perang  adalah  jalan terakhir yang terpaksa harus ditempuh, apabila semua usaha penyelesaian   damai gagal. Perang hanya dilakukan dalam  keadaan  terpaksa  guna mempertahankan kemerdekaan   dan kedaulatan negara serta tujuan nasional.
Pandangan Bangsa Indonesia tentang Pertahanan Negara   merupakan   upaya
untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara, keutuhan bangsa dan
wilayah, serta terpeliharanya keamanan nasional dan terciptanya tujuan nasional.
Nasionalisme- Makna Nasionalisme secara politis merupakan manifestasi kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan pendorong bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan atau mengenyahkan penjajahan maupun sebagai pendorong untuk membangun dirinya maupun lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya.

Kita sebagai warga negara Indonesia, sudah tentu merasa bangga dan mencintai bangsa dan negara Indonesia. Kebanggaan dan kecintaan kita terhadap bangsa dan negara tidak berarti kita merasa lebih hebat dan lebih unggul daripada bangsa dan negara lain. Kita tidak boleh memiliki semangat nasionalisme yang berlebihan (chauvinisme) tetapi kita harus mengembangkan sikap saling menghormati, menghargai dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa menempatkan persatuan – kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan, menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan Negara, bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa rendah diri, mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa;menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa tidak semena-mena terhadap orang lain, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, berani membela kebenaran dan keadilan, merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia, danmenganggap pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Dalam kasus perbatasan Indonesia – Malaysia di daerah Kalimantan, bagaimana mungkin rasa nasionalisme itu bisa terbangun jika kualitas hidup secara ekonomi rendah.Apalagi dengan gaji yang ditawarkan cukup menggiurkan.Rasa nasionalisme bisa kalah hanya karena kebutuhan untuk bertahan hidup. Kondisi ini seolah-olah memberikan pembenaran  bahwa  nasionalisme bangsa ini mulai redup. Apalagi warga diperbatasan yang pendidikannnya minim. Faktor ini tidak akan menjadi hal yang tidak masuk akal jika kasusnya yang terjadi di Kalimantan seperti itu, masyarakat mana yang akan menolak jika diperhatikan seperti itu dan ditambah lagi dengan kurangnya perhatian dari pemerintah sendiri.
Melihat keadaan yang seperti ini siapa yang harus dipersalahkan?Karena Salah satu faktor keterbelakangan secara ekonomi di perbatasan adalah diskriminasi ekonomi yang dilakukan pemerintah.  Kehidupan warga begitu kontras jika dibandingkan dengan daerah lain. Prioritas pembangunan yang dijanjikan pemerintah tidak sebanding dengan penghasilan kekayaan alam yang dikeruk.  Warga perbatasan tetap saja menggantungkan hidupnya di Malaysia.Mereka lebih betah tinggal di Malaysia walaupun harga diri mereka terkadang terinjak-injak, mereka diperkerjakan sebagai buruh kasar, pembantu rumah tangga, bahkan ada sebagian lagi bekerja di perkebunan karet milik warga Malaysia.
Perubahan pengakuan dan berkurangnya rasa nasionalisme dari masyarakat di perbatasan Kalimantan ini terjadi karena interaksi yang secara terus menerus diantara masyarakat Serawak dan perbatsan Kalimantan, hampir setiap hari mengadakan kontak baik  kontak ekonomi, politik ataupun pendidikan, bahkan untuk bahan pokok sehari-hari, warga di perbatasan tetap bergantung ke Malaysia, ratusan bahkan ribuan warga bekerja di Sarawak, Malaysia Timur karena  konsep interaksi sosial melihat hubungan akan terjalin dan akan saling mempengaruhi jika terjadi secara berkesinambungan dan dalam kasus ini masyarakat di perbatasan lebih memilih berinteraksi dengan masyarakat di Serawak karena jarak dan fasilitas yang mencukupi selain itu proses kerjasama dan pertukaran social yang dilihat oleh konsep interaksi sosial pun terjadi di kawasan ini, seperti pemberian fasilitas yang bagus dan bisa dikatakan canggih oleh pemerintah Malaysia kepada masyarakat, seperti pelayanan kesehatan gratis, sekolah gratis dan fasilitas yang tidak di diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada mereka.
Nasionalisme yang membabi buta, dan sentralisasi ekonomi yang menempatkan daerah di luar Jawa sebagai daerah modal untuk dieksploitasi, telah menutup mata terhadap realitas kesenjangan itu.Di ujung kekuasaan Orde Baru, kesenjangan itu membuahkan konflik etnis yang berdarah-darah di beberapa wilayah Kalimantan, juga di beberapa wilayah Indonesia.
Jadi dalam kasus pergantian kewarganegaraan yang terjadi di perbatasan Kalimantan jika kita berlandaskan pada konsep – konsep yang telah di jelaskan diatas, maka pergantian ini wajar adanya jika faktor – faktornya sama seperti yang diatas, karena ketimpangan yang terjadi pun juga tidak dinginkan sepenuhnya oleh masyarakat di perbatasan, tapi apa daya jika kita dihadapkan pada kasus dan peluang yang terjadi di perbatasan, nasionalisme bisa digadaikan dengan kebutuhan pokok sehari – hari masyarakat di perbatasan, tapi beda kasus jika pemerintah kita lebih terfokus lagi dalam menangani permasalahan ini.
BAB III
PENUTUP
Dalam menyikapi gerak langkah negara lain dalam memperluas wilayahnya,  Indonesia harus tegas. Kita tidak boleh lagi kehilangan sejengkal pun wilayah kita, apa pun ongkosnya. Terjaganya luas wilayah Indonesia merupakan wujud dari kedaulatan kita sehingga kita harus mempertahankan dengan cara apa pun, upaya untuk mempertahankan wilayah Indonesia merupakan tanggung jawab kita semua.
Kasus yang terjadi di perbatasan Kalimantan tidak sepenuhnya kesalahan dari masyarakat itu sendiri, tapi keadaan dan tuntutan kehidupanlah yang menjadikan mereka menghilangkan identitas asli mereka.
Tapi perlu juga diperhatikan peningkatan peran serta pemerintah juga harus lebih ditingkatkan kan lagi, pemerintah harus meratakan pembangunan disetiap daerah yang berada negaranya. Kita ( pemeritah dan rakyat Indonesia ) harus menyusun strategi pertahanan wilayah perbatasan. Apabila perlu, kita harus menyusun sebuah undang-undang khusus untuk itu.
Hal yang harus kita perhatikan seperti Melakukan Pemetaan Kembali Titik-Titik Perbatasan Indonesia dengan Negara lain, memberikan penyuluhan kepada masyarakat diperbatasan tentang konsep nasionalisme dan identitas diri mereka. Pembangunan di daerah perbatsan harus lebih diutamakan, dirikan mercusuar – mercusuar yang menandakan bahwa perbatasan itu milik Negara kita, dan meningkatkan pembangunan infrastruktur di perbatasan, tapi hal yang paling penting adalah menumbuhkan kembali semangat nasionalisme masyarakat yang berada di perbatasan.
Mobilitas intemasional penduduk di wilayah perbatasan ini mempunyaidampak baik terhadad individu dan masyarakat di wilayah perbatasan, terhadap daerah asal dan tujuan di negara tetangga dan juga terhadap hubungan kedua negara.Tetapi dampak yang paling penting untuk dicermati adalah dampak terhadap hubungan antara kedua negara.Ini disebabkan karena isu mobilitas penduduk di wilayah perbatasan dapat terkait dengan isu-isu yang rawan terhadap potensi konflik antara kedua negara seperti isu pelintas batas illegal, penyelundupan serta akhir-akhir ini terkait dengan isu terorisme.Untuk itu, pemahaman tentang dinamika mobilitas penduduk di wilayah perbatasan, pola, dampak dan implikasi sosial-budaya, ekonomi dan politiknya sangat diperlukan.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar